ASAL USUL DESA MOJODESO
Dahulu kala di pojok kawasan wilayah Bojonegoro yang masih berupa hutan tua, terdapat kawasan yang sangat angker hingga masyarakat sulit untuk mempeluas wilayah pemukimannya. Bahkan diberitakan kepada masyarakatnya bahwa jika terdapat orang yang mencoba datang atau masuk ke wilayah tersebut maka orang tersebut tidak akan bisa kembali. Kemudian datang dari arah Tuban seorang kesatria dari Kerajaan Mataram yang merupakan santri dari Sunan Kali Jaga memasuki kawasan angker tersebut. Kesatria yang datang tersebut bernama Kesatria Krama Wijaya. Ketika beliau sampai di kawasan angker tersebut, tiba-tiba terdapat tanah yang bergerak meninggi membentuk sebuah gundukan seolah tanah tersebut hendak menjadi gunung. Kesatria Krama Wijaya kemudian menyoraki tanah tersebut bersama para pengembala hingga tanah tersebut wurung atau tidak jadi menggunung. Wilayah tersebut kemudian diberi nama wilayah Sekathok (yang memiliki arti tanah yang gagal menjadi gunung) sebelahnya terdapat kawasan yang diberi nama Puthuk (yang memiliki arti bukit dari pegunungan yang gagal jadi tersebut). Kemudian adapula lembah yang diberi nama lembah Banaran.
Perjalanan Kesatria Krama Wijaya berlanjut ke arah barat kawasan tersebut. Ternyata tiba-tiba beliau menjumpai sebuah pagelaran wayang dan beliau menyaksikannya hingga tertidur, ketika beliau terbangun ternyata wilayah tersebut merupakan kawasan hutan tanpa penduduk seorangpun dan terdapat sebuah sumur yang kemudian disebut dengan sumur kelir. Selanjutnya Kesatria Krama Wijaya kembali berjalan ke arah selatan dan bertemu sebuah pohon besar yang dijaga oleh dua ekor singa kembar. Dalam usahanya untuk membuka wilayah tersebut ternyata beliau berhasil dikalahkan oleh dua ekor singa kembar tersebut. Kesatria Krama Wijaya kemudian kembali ke tempat asalnya dan meminta nasehat kepada Sunan Kali Jaga agar dapat berhasil mengalahkan dua ekor singa kembar tersebut. Kesatria tersebut kemudian diberi nasehat untuk berfokus pada pengendalikan nafsu kebinatang buasan agar dapat mengalahkan dua ekor singa kembar yang menjaga pohon besar. Ternyata pada pohon besar yang dijaga oleh dua ekor singa kembar tersebut terdapat sebuah pusaka berwujud payung dengan gagang terukirkan bentuk naga. Sunan Kali Jaga juga berpesan kepada Kesatria Krama Wijaya agar dapat mengeluarkan pusaka dari pohon besar tersebut. Akan tetapi pusaka tersebut hanya dapat dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki sifat mengayomi, melindungi, dermawan dan sifat kepemimpinan yang baik lainnya.
Setelah Kesatria Krama Wijaya mendengarkan nasehat dari Sunan Kali Jaga. Dalam perjalanannya kembali menuju pohon besar untuk mengalahkan kedua singa kembar dan mengambil pusaka tersebut, Kesatria Krama Wijaya berupaya untuk bersikap sebagaimana yang disarankan oleh Sunan Kali Jaga. Sesampainya pada pohon besar, akhirnya beliau berhasil mengalahkan dua singa kembar yang menjaga pohon besar dan berhasil pula mendapatkan pusaka payung dengan gagang berukirkan naga tersebut. Hutan yang dikenal angker tersebut pada akhirnya sudah dapat terbuka dan mulai dijadikan pemukiman atas kepemimpinan Kesatria Krama Wijaya. Wilayah tersebut kemudian disebut dengan desa Mojodeso dari kata “Mojokdeso” yang berarti desa pojok atau desa yang berada di sudut hutan tua. Dalam perkembangannya, desa tersebut membutuhkan sumber air untuk penghidupannya. Kemudian Kesatria Krama Jaya berjalan menuju arah barat dan menjumpai sebuah sendang yang dijaga oleh dua ekor naga kembar. Sang Kesatria kemudian berhasil mengalahkan dua ekor naga kembar dan menggunakan sendang (sumber air) untuk kehidupan masyarakat Desa Mojodeso. Naga yang dikalahkan melambangkan kemakmuran dan sumber kehidupan. Setelah menemukan sumber air, masyarakat Desa Mojodeso mulai bercocok tanam dan menjadi kawasan desa yang subur, makmur, gemah ripah loh jinawi.